Pesantren sejak lama menjadi benteng moral dan pusat pendidikan karakter bangsa. Di balik kesederhanaan bangunannya, pesantren melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial. Para kyai dan ustadz di pesantren memainkan peran ganda — sebagai pengasuh, pembimbing, dan teladan hidup bagi santri. Kyai dan ustadz di pesantren-pesantren tersebut menjadi figur utama dalam menjaga keseimbangan antara ilmu, adab, dan karakter.
Hal ini sejalan dengan pandangan Menteri Agama Nasaruddin Umar, yang menyampaikan bahwa pendidikan berbasis pondok pesantren dan penerapan Kurikulum Cinta di madrasah dapat menjadi solusi dalam membentuk karakter anak yang utuh — bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki empati, kasih sayang, dan akhlak yang kuat. Menurutnya, Kurikulum Cinta berupaya menumbuhkan kesadaran spiritual dan emosional dalam pendidikan, agar peserta didik tumbuh menjadi insan yang penuh kasih terhadap sesama dan lingkungannya.
Dalam tradisi pesantren, adab selalu didahulukan sebelum ilmu. Santri dididik untuk menghormati guru, menjaga kesopanan, dan hidup dengan kejujuran serta kesederhanaan. Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, misalnya, sejak didirikan oleh KH Abdul Karim pada awal abad ke-20, dikenal sebagai pesantren salaf besar yang menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak dan ketawadhuan. Para santri tidak hanya mendalami kitab kuning, tetapi juga belajar beradab dalam setiap aspek kehidupan. Kyai-kyai Lirboyo kerap mengingatkan bahwa “adab adalah pintu bagi datangnya ilmu,” sebuah prinsip yang terus dijaga lintas generasi.
Selain Lirboyo, Pondok Pesantren Ploso Kediri juga menjadi teladan pendidikan Islam yang menyeimbangkan ilmu dan karakter. Didirikan oleh KH Abdul Mannan, pesantren ini menekankan pentingnya tafaqquh fid-din (pendalaman agama) yang dipadu dengan pembinaan moral dan tanggung jawab sosial. Sistem sorogan dan bandongan yang diterapkan membangun kedekatan emosional antara guru dan santri, sementara kegiatan rutin seperti mujahadah, halaqah, dan khidmah menjadi ruang pengasahan spiritual dan kepedulian sosial. Santri Ploso dikenal berdisiplin tinggi, beradab, dan memiliki komitmen kuat terhadap dakwah dan pengabdian masyarakat.
KH Chalwani Nawawi pernah menegaskan bahwa pesantren adalah “pendidikan yang paling berhasil, karena seluruh lingkungannya mendukung pembentukan kepribadian.” Pandangan ini sejalan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan sejati harus mengutamakan budi pekerti di atas pengetahuan semata.
Kini, di tengah tantangan globalisasi dan arus budaya digital yang kian deras, pesantren seperti Lirboyo dan Ploso terus berinovasi tanpa meninggalkan nilai-nilai dasarnya. Mereka membuka diri pada pendidikan formal, teknologi, dan kewirausahaan, namun tetap menempatkan adab dan akhlak sebagai pondasi utama. Dengan dukungan pemerintah, masyarakat, dan tokoh agama, pesantren tetap menjadi laboratorium moral bangsa — tempat lahirnya generasi berilmu, beradab, dan berkarakter kuat yang siap menjaga nilai-nilai Islam dan kebangsaan di tengah perubahan zaman.



Posting Komentar